Rabu, 06 Oktober 2010

Cahaya 7


Biarkan aku menjadi bagian dari sejarah bumi yang pernah meminta kepada angkasa yang gagah untuk melindunginya. Catatan cintanya hanyalah noktah yang menghiasi Dinding Sejarah. Dindingnya akan kubuka kembali di ujung penantian, saat semua pencinta bersama dengan yang dicintainya.

Cahaya 6


Terkadang kita menginginkan dunia yang kita huni tampak 'hijau'. Ada kesejukan disana, kedamaian, tidak terdengar celoteh iri, apalagi aksi dengki. Damai. Tenang. Penuh senyum. Canda tawa. Semuanya nampak indah, tak ada keburukan disana. Bersih. Tak ada darah dendam yang mengalir maupun menetes. Tetapi apakah itu semuanya kita inginkan? setiap orang menginginkannya?? Jawabannya pasti Ya.

Namun, apakah pernah kita berpikir untuk menginginkan dunia yang 'abu-abu', tetapi disana ada keributan-keheningan, ada dendam-ada maaf, ada celoteh-ada canda, ada hitam-ada putih, ada api-ada air, ada duka-ada cita, ada kebaikan-ada kejahatan, semuanya berpasangan. Tak ada yang sendiri. Tidak hijau saja, atau merah saja, atau hitam saja. Semuanya ada lawannya. Semuanya ada. Tetapi ada Cahaya disini yang diikuti gelap. Ada petunjukNya disini yang selalu digoda oleh nafsu,syahwat dan setan. Ada 'uswah' disini yang menemani 'ibroh'. Tinggal kita pilih saja. Inilah dunia kita sekarang. Dunia yang kita huni saat ini hingga kita tercatat sebagai penghuninya sampai batas waktu ketetapanNya. Tak ada yang abadi disini. Karena hidup didunia ini fana. Dan 'abadi' itu setelahnya. Akhirat. Tidak ada 'abu-abu' lagi disana. Hanya keabadian yang tersisa. Apakah kita hidup d hijau yang 'damai' itu. Surga. atau sebaliknya. Neraka. Abadan..abadan..abadan...

Cahaya 5


Awalnya tak punya cahaya, berjalan melewati gelap. Serangga malam itu seolah menawarkan cahaya kerlipnya, begitu mempesona dalam kegelapan, padahal kita tahu cahaya mereka tak cukup untuk berbagi. Hanya untuk dirinya saja. Itupun tak cukup terang. Masalahnya kita tak hanya butuh kerlip biasa. Tetapi kerlip yang sebenarnya, Nyata. Kerlip yang menghantarkan kita pada jalan yang sebenarnya, perlu cahaya yang tak pernah padam. Itulah cahaya yang selalu kita rindukan. CahayaNya. Ya Cahaya itu. Cahaya yang telah merasuk kedalam qalbu ‘Bilal bin Rabbah’ yang kemudian terpancar dalam kalimat ‘Ahad..ahad..’ meski terik dan batu ditempa ditubuhnya yang kurus. Cahaya itu pula yang telah menerangi ‘Keluarga Yasir’ meniti jalan pertama sebagai syahid/syahidah dalam Islam. Cahaya itu juga yang telah menerangi Jazirah Arab dari jaman ‘kegelapannya’ hingga mengayomi 2/3 belahan dunia menuju kejayaan peradaban yang sungguh gemilang. Dan, semoga Cahaya yang sama pula yang kita bawa menemani kelam dan terjalnya hidup ini. Cahaya itu adalah Islam. Ya, Islam yang Allah memuliakan kita dengannya sampai saat ini, semoga tetap hingga bertemu denganNya.